Berjualan Es Buah Karena Kebutuhan

Posted by Damar Iradat Thursday 9 December 2010 0 komentar

Ketika zaman semakin menuntut kita untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bisa dibilang sangat susah untuk mendapatkan uang untuk hidup. Apalagi di Indonesia tingkat pengangguran di Indonesia masih mencapai angka 10%.

Asep (28), salah seorang yang bisa dibilang pengangguran karena pekerjaannya yang hanya berjualan es buah dan pisang ijo di Jatinangor. Ia biasa berjualan di depan Alfamart Sayang. Ia mengaku sudah berjualan es buah dan pisang ijo ini dari 4 tahun yang lalu ketika ia mencoba peruntungan di Jatinangor. Asep memang bukan penduduk asli Jatinangor, ia berasal dari Garut.

Asep ini anak keenam dari tujuh bersaudara. Keluarganya banyak yang menjadi guru honorer, seperti bapaknya, dua kakanya dan satu adiknya, sisanya ada yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, ibu rumah tangga dan satu lagi tidak bekerja.

Asep yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas ini mengaku sebenarnya ingin sekali melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun biaya yang mahal membuat Asep putus sekolah. Setelah lulus sekolah ia sempat mencoba peruntungan di daerah Rangkasbitung untuk mencari pekerjaan yang layak, namun hanya bertahan 7 bulan lalu kembali lagi ke Garut.

Setelah sampai di Jatinangor ia mulai berdagang es buah dan pisang ijo, usaha ini sebenarnya sudah dilakukan oleh dua orang temannya sebelumnya. Ia hanya melanjutkan usaha temannya itu. Berjualan es buah dan pisang ijo memang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, “untungnya ga tentu, kadang laku kadang juga ga. Belum lagi harus bayar uang sewa disini sama setor ke yang punya gerobak,” tambah Asep. Apalagi keadaan sekarang yang katanya pembeli berkurang, padahal mahasiswa semakin banyak. Banyak pedagang yang menjual es buah sama dengannya lah yang membuat dagangannya kurang laku akhir-akhir ini, padahal waktu awal-awal berdagang pembeli lebih banyak, walaupun mahasiswa masih sedikit.

Menjadi pedagan es buah memang bukan pilihan hidupnya, tetapi ia harus tetap bertahan hidup dengan cara berjualan itu. Padahal ia sempat menjadi guru honorer di daerah asalnya, namun penghasilannya ketika itu tidak mencukupi kebutuhannya. Gaji Rp 125.000 per bulan, tetapi ongkos yang harus dikeluarkan Asep ketika hendak mengajar saja sampai Rp 20.000 per hari. “Waktu itu saya ngajar di sisi gunung, di daerah Dano. Jadi gajinya cuma abis diongkos aja. Kalau ga ada duit ya jalan,” tambahnya.

0 Responses so far.

Post a Comment